Tuesday 5 March 2013

From Ear to Brain part I

"Lu salah. Dia g suka sama lu gitu aja. Perempuan jatuh hati pada percakapan pertama, Sob." -Arjuna sambil senyum membayangkan Desi.

Dika namanya. Pacar ganti-ganti, ga ada yang serius. Senyumnya manis kaya ubi gorengan yang biasa dijual di depan kampus. Playboy? engga kok. Dika g pernah pacaran sama lebih dari satu perempuan, yah, pendekatannya mungkin, agak bersinyal wi-fi

Rahma. Cewe, biasa aja. Sekian. Oh iya, dia pelihara kucing.

Singkat kata, Dika populer, Rahma engga. Dika berlari, Rahma duduk g peduli. Dika senyum, Rahma nengok ke belakang. Rahma nangis, Dika g tau. Dika nangis, seisi kampus tau. Rahma berduka, Dika tertawa. Now playing : Harus Terpisah-Cakra Khan

Hubungan mereka berdua dengan Desi dan Arjuna? (baca : From Heart to Heart) nanti juga tau. \

Engga, Rahma g suka kok sama Dika. Sampai akhirnya rumput bergoyang, ombak bergulung, langit mendung, dan tsunami terjadi, Rahma harus satu kelompok belajar sama Dika. Percayalah, bukan senang yang ada di hati Rahma, melainkan benci. Benci karena Dika adalah Dika, seorang pemuda populer yang banyak gaya. 

Dika? g ada niat buat deketin Rahma kok. Masalahnya, Dika aja g tau, Rahma yang mana. Dika cuma afal sama cewe yang ngasih perhatian lebih sama dia. 

Dika
"Eh ada pensil?" kata Dika pada Desi. "Ngga lah, pensil aku cuma satu." jawab Desi berbisik. 
Dika berbalik, bingung harus bilang pada siapa, mengapa, dan bagaimana hati ini harus memilih. Ini perkara besar, pensil itu penting, bung. Selain buat kelihatan keren dan rajin, ini menambah image smart buat Dika. Oh iya, pensil juga bisa kepake buat nyatet pelajaran kok. 

"Eh ada pensil?" ulangnya pada gadis berambut panjang yang duduk di sudut 53 derajat LS dan 47 derajat LU dari tempat duduknya. 

Tanpa bicara, si gadis misterius mengaduk tempat pensilnya, menutup tempat pensilnya lagi. Mengaduk tasnya sampai kedalaman samudera. Mengaduk kantong celana. AHA! dengan wajah penuh kemenangan, dia mengangkat pensil kayu yang setengah tumpul dan agak usang ke arah Dika. Dika yang tercengang menatap fenomena di depannya, cuma bisa nganga dan menatap nanar gadis itu. 

"Thanks." 

Si gadis hanya mengangguk dan menatap serius lagi ke arah pukul jam 3, tempat dosen berada. 

Rahma 
Belajar. Belajar. Nunduk. Belajar. Serius, fokus. Ga ada yang bisa ngalahin fokus Rahma sama pelajaran, serius deh. Kucing tetangga aja bisa kalah.

Sampai keheningan Rahma terusik dengan suara berat, "Eh ada pensil?"

Rahma tertegun sesaat. Iya, ada sih, pikir Rahma. Tapi dimana ya. Dengan seluruh kekuatan pikiran dan raga, Rahma berusaha mencari pensilnya yang terbaik. Di kotak pensil, ngga ada, di tas juga ngga ada. Duh, ada yang di kantong, pikir Rahma lagi, tapi buruk rupa dan ga sebanding sama yang nanya. Tapi, tapi, yaudahlah, yang penting ada.

Kasi pensil. Selesai sudah percakapannya dengan suara berat itu.

"Thanks."

Hah? Dia bisa ngomong thanks? Dia, si Dika, pemuda dengan reputasi sangat buruk di mata Rahma?

Saking tertegun, Rahma hanya bisa diam, dan berusaha kembali fokus, walau setengah pikirannya berperang melawan prinsip pikirannya mengenai Dika selama ini.

Dika
Senyum nanar. Menatap pensil yang g sekeren pandangan keren ala Dika. Dia menatap lagi gadis tadi. Berpikir sejenak. Oke, Dika g tau itu siapa tadi.

Dika memperhatikan lagi. Rambutnya bagus, cuma g keurus aja.

Ada ya cewe yang begini ga meratiin rambut, rambut kan mahkota, pikir Dika sambil mengerucutkan bibirnya.

Dika melirik Desi, kulit putih mulus, rambut hitam sepundak bersinar. Jauh bener cewe itu sama cewe gue. Cewe gue lah paling bener, pikir Dika sambil senyum jahil. Dika berusaha meraih tangan Desi dan gagal karena dosen lewat.

Gagal, kecewa g berhasil pegang tangan Desi yang hanya 20 cm dari tangannya, Dika memainkan pensil ditangannya ala pemain drum profesional, walaupun kelihatannya sih tetep ngga ada profesionalnya. Detik itulah dia memperhatikan, ada nama terukir di sana, "R a h m a".

Oh. Rahma.

"Yuk keluar." lirih Desi mengaburkan lamunan Dika. Ternyata. Demi apapun, kelas sudah selesai, dan Dika ga merasa sedikit pun ada kelas tadi. Yah, yasudah. Dika menutup binder file yang dia beli buat catatan kuliah, atau bisalah, jadi ajang coretan.

****
Entah ada angin apa, Dika menatap pensil itu, ragu sesaat, dan berakhir dengan memasukkan juga pensilnya ke dalam tas. Meninggalkan si gadis pemilik sahnya, tercengang dan terpaksa menelan kemungkinan, pensilnya tidak akan kembali. Gadis itu hanya bisa menunduk dan menyesal sekaligus bersyukur sambil berguman kecil, "Untung bukan pensil bagus. HAHA".

SUMPAH. Masalah pensil ini super lebay. Tapi bagi mahasiswa, pensil itu memang crusial.

-tobe continue, From Ear to Brain part II

No comments:

Post a Comment