Thursday 7 March 2013

From Ear to Brain part II

"Mana yang lebih baik, apa yang terlihat atau yang tidak terlihat dari seseorang?"- noname.

Dika
Konser Musik. Sore ini. HEYEAAH. Ajang yang sudah ditunggu semua orang populer, atau yah, yang merasa diri populer. Dika juga. Sejujurnya dia sudah mengajak Desi, kekasih hatinya untuk periode Februari 2013 sampai waktu yang tidak ditentukan, untuk pergi bersama. Tapi apa boleh dikata, kata Desi identik dengan penghematan. 

Galau menyerang kedalaman hatinya, jantung, dan jiwa raga menjadi lemas, ombak bergulung, hujan membasahi rerumputan yang bergoyang, kucing-kucing berteduh, bumi berhenti berotasi... oke ini lebay, bumi berhenti berotasi? GILA.

Dika pun beralih pada teman semasa kecilnya, Arjuna Putra.

"Jun...."

Selintas pandang, Arjuna tidak semenarik Dika, atau selama ini Dika berpikir begitu. Arjuna tidak setampan Romeo yang mendapatkan Juliet nantinya. Tapi banyak wanita yang menempel padanya. Kenapa? Mudah saja, Arjuna mengerti wanita, prinsip hidupnya se-simple lagu Ada Band, karena wanita ingin dimengerti, lewat tutur lembut dan laku agung...

"Iya?" jawab Arjuna dengan pandangan menyelidik pada kawan seperjuangannya itu. Ia sangat mengenal Dika, ga mungkin dia ga ada maunya. 

"Kita kan temen udah lama, gue udah nganggep lu sodara gue, jadi...... temenin gue ke konser yuk...." balas Dika dengan suara memelas dan manja yang dipaksakan. Hanya butuh 1/10000000000 detik untuk penyesalan seumur hidup Dika. Ini langkah yang super salah. 

"KONSER? Lu gila apa? Kita bakal ujian bentar lagi, dan lu mau nonton konser ga jelas itu? CUMA BUAT KEREN DOANG? Pantesan aja Desi ga mau nemenin lu. Ga mau gue, udah mahal, cuma bisa liat artis kaya semut...." tandas Arjuna dengan keji dan langsung melangkah menjauh duduk di kubu Desi. Kubu penolakan-pergi-ke-konser.

Oke, fine. Yah, segala langkah kan boleh dicoba, pikir Dika. Kegalauan kembali menggandrungi dirinya, kini ditambah kekecewaan pada Desi+Arjuna. Lama-lama mereka semakin mirip. 

Dia menengok ke kanan 45 derajat, ini beneran 45 derajat, ga ada lintangnya kok. Oke. Ada si cewe pensil. Siapa lagi deh namanya. 

Mengaduk tas, Dika menemukan pensil itu. Pensil buruk rupa dengan ukiran nama R a h m a. Secercah ide yang jarang muncul dipikiran Dika, muncul. 

Rahma
Rahma menunduk, dengan wajah dingin dan datar. Berusaha belajar dan fokus. Tapi keseriusannya terpecah. Ada suara berat yang selalu ngoceh mencari perhatian. 

Berisik banget sih jadi orang. Ke konser aja ribet, apa-apaan dia. Pergi aja sendiri. Pikir Rahma kesal.

"Rahma." panggil sebuah suara.

Tanpa menjawab dan enggan, Rahma mengangkat wajahnya dari catatan terperinci mengenai apa yang harus dilakukan hari ini dan juga catatan pelajaran hari ini, semua terstruktur dan sangat rapi. Serius, semua orang pasti terkejut melihatnya, dan bereaksi, "GILA, RAPI BANGEET! LU KOK BISA SIHH.. KERENN" terus dibawa kabur ke tukang fotokopi. Beginilah perihal nasib catatan dengan tulisan bagus, diingini khalayak ramai.

"Mau ga ke konser musik sore ini? Temenin gue?" bisik suara itu, memelas dan penuh rayuan. 

Sejujurnya, Rahma suka band ini. Sesungguhnya, Rahma sudah punya tiket ke konser ini, tapi dia berencana pergi sendirian. Hati nurani Rahma terusik. Harus apa, dia mengorbankan kebahagiaannya bersama laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya atau haruskah, diberi kesempatan?

"Boleh. Mau ketemu jam berapa?" jawab Rahma lirih, pasrah, dan berharap ini bukan langkah yang salah. 

Senyum kecil muncul di wajah itu dan jawaban panjang meluncur cepat dari bibir tipis yang membentuk kurva bibir sempurna, salah satu bagian wajah yang selalu membaut laki-laki menarik, "Abis kuliah, kita langsung siap-siap aja, rumah lu dimana? atau lu mau pergi beli baju dulu atau gimana? Lu mau beli tiketnya dulu? Gue anter deh."

Terkejut dan bingung mau jawab apa. Rahma cuma bisa bilang sambil menatap lurus catatannya, "Aku udah ada tiket. Udah rencana pergi soalnya. Aku ga tau mau kemana..." 

"HAH? Serius lu? jadi lu, kamu, lu, suka juga band ini? KOK GA CERITA SIH?" sambut lelaki itu antusias dengan kesenangan dan kepuasan di wajahnya. Membuatnya semakin tampan, semakin susah ditolak. 

dan Rahma mulai tergoda dengan kemanisan dunia, keantusiasan yang tampaknya jujur... 

Rahma terbawa suasana dan mulai bercerita, mereka bercerita dan larut dalam pembicaraan sampai tiba-tiba perkataan dosen mengejutkan  mereka, "Ya, sekian dulu kelas saya, ada pertanyaan?"

Rahma kontan menyesal. Ia tidak pernah melewatkan satu mata kuliah tanpa mendengarkan dan malah mengobrol begini. Tapi dia tidak bisa menyalahkan laki-laki menarik ini. Dia terlalu menarik. SANGAT MENARIK. Bahkan faktanya dia akan bersama dengan laki-laki ini sehari penuh.  

Mimpi apa aku semalam...

Dika
Kepuasan dan kelegaan mencapai hati Dika. Dika tidak pernah menyangka, Rahma akan se-menyenang-kan ini untuk diajak ngobrol. Ga nyangka juga, banyak kesukaan mereka yang sama, ga nyangka juga kalau sesungguhnya gadis ini cukup menarik. 

Tunggu. Cukup menarik? GA. Itu tadi pikiran yang sangat salah. Gue GA TERTARIK. Desi mana Desi. Gue suka sama Desi, Desi adalah gravitasi gue, ga ada yang lain. PDKT Desi itu susah, susah, susaaaaah, dibandingin sama nyari jarum ditumpukkan jerami, deketin Desi itu lebih susah, Dika harus mengalahkan ribuan laki-laki yang mengejarnya juga. Bahkan sampai sekarang, terkadang, kalau bisa malah, Desi dikasi kalung "DIKA'S" biar ga ada lagi yang deketin. Sumpah, ini ga hiperbola.

Tapi hari ini sungguh akan sangat menarik, Rahma... gadis yang ga bisa ditebak akan bersama-sama dengannya. 

Tunggu lagi. Harus ngomong apa dia ke Desi? dan juga orang-orang lain kalau dia akan pergi sama si kutu buku yang super serius ini? Bisa jatuh harga dirinya, reputasinya. 

Berpikir adalah hal yang sangat jarang dilakukan oleh Dika. Tapi demi konser, dan juga sedikit alasan untuk berada bersama Rahma.. Dia akan berusaha berpikir. Berpikir. Berpikir. Coba dunia ini kaya Dora The Explorer, semua begitu mudah, contoh, mau nyari gunung, tiba-tiba dibelakangnya udah muncul gunung yang tadi ketutupan awan doang. 

Oke ini rencananya, Dika akan bilang sama Desi kalau dia tidak jadi pergi ke konser dan bakalan ke rumah neneknya. Desi pasti langsung percaya. Desi ga mungkin muncul tiba-tiba di tempat konser. Jadilah. Gini aja.

Menghampiri Desi yang sedang dikerumuni banyak orang, mayoritas laki-laki, yagn modusnya mau tanya tugas, Dika sengaja melangkah dengan suara sepatu keras, udah mirip sama langkah paskibraka atau malah TNI. 

"Sayang, aku ga jadi ke konser" kata Dika pada Desi dengan suara pelan hingga cuma Desi dan angin yang menghembus lembut dapat mendengar ini. Desi langsung terkejut, air wajahnya berubah dari senyum ke arah sedih. "Seriusan? Pasti gara-gara ga ada yang temenin ya? Maaf ya, maaf" kata Desi dengan penuh ketulusan dan rasa bersalah. 

Ya ampun, Desi. Paling bisa bikin jantung gue berhenti. Cantik banget dia kalau lagi minta maaf gini. Aduh.

"Bukan sayang, cuma aku harus ke rumah nenek. Biasa, kunjungan rutin." Jawab Dika. 

Dengan senyum pahit dan pasrah, Desi mengangguk dan menggandeng tangan Dika keluar. 

Mereka tidak ada yang melihat, tidak ada yang menyadari, ada hati lain yang terluka melihat ini semua. Hati gadis yang tadinya berbunga dan menyadari posisinya.

Gadis ini berbalik dan melangkah pulang. Menyesal dan malu akan kesenangan sesaatnya. 

Ceritanya masih nyambung, folks. Ga mau ketinggalan? Subscribe please :D 

No comments:

Post a Comment